Dawwi, Disleksia dan Akomodasi UN
Tahun lalu,
akhirnya kami sepakat bahwa “baiklah” jikalau Dawwi ingin dan akan mengikuti
Ujian Nasional tingkat sekolah dasar. Saat itu kami masih memiliki tanda tanya besar
tentang makna dan manfaat UN bagi anak Indonesia. Singkatnya, hasil diskusi dengan
beberapa guru dan pemikiran panjang kami lalui sebelum memutuskan Dawwi untuk
mengikuti UN.
Sejak memasuki
semester genap, anak-anak mulai memasuki pola belajar yang lebih intensif untuk
mempersiapkan diri menghadapi UN. Saya berkomunikasi secara intens dengan
guru-guru kelas, Bu Hera & Pak Iden, mulai dari isu tren materi UN terkini
hingga bagaimana kecakapan Dawwi dalam persiapan tersebut. Kemampuan membaca
komprehensfi masih menjadi tantangan besar saat itu, extra-time belajar dirumah yang
menguras emosi dan fisik, telah menjadi tambahan upaya meningkatkan kemampuan
pemahaman baca soal yang diharapkan akan membantu dia memiliki hasil yang baik.
Lagipula, Bu Hera & Pak Iden menyatakan apa yang mereka upayakan sudah
maksimal dan program ‘bimbel’ pun tidak masuk dalam daftar saran demi
menghargai waktu istirahat anak.
Dawwi pun
memilih tidak ikut Bimbel. Saya belikan berbagai buku untuk latihan soal
dirumah sebagai bentuk remedial dari apa yang sudah dilatih di sekolah. Saya mencari
kertas lembar jawab UN yang mirip aslinya, scan ulang lalu print yang banyak dan
dijadikan lembar latihan mengisi data diri dan mengisi soal. Ini menjadi sebuah
latihan setengah nyata, sebab bagi anak dengan disleksia mengisi data diri
dalam lembar jawaban UN merupakan kesulitan tersendiri. Salah-salah semua
kotak/bulatan huruf akan diisi sejajar. Kesalahan yang tidak bisa diterima ‘mesin
pembaca jawaban’, bukan?
Mengenali pencapaian
belajarnya dari hari-hari di rumah, hasil perbincangan dengan Bu Hera & Pak
Iden dan melihat hasil beberapa kali Try Out, akhirnya saya menanyakan
kemungkinan Dawwi dan seorang temannya disleksia lainnya untuk mendapat
akomodasi saat UN. Pimpinan Sekolah tertinggi saat itu merespon pertanyaan saya
dengan jawaban yang melegakan “kami akan upayakan”. Alhamdulillah, saat itu
kerisauan saya berkurang. Namun demikian, dengan prasangka terhadap birokrasi
yang yang sudah ‘berabad-abad’ menguasasi citra pemikiran saya, saya harus siap
apabila semua tidak sesuai harapan.
Hingga tiba
suatu hari saya mendapatkan pesan untuk bertemu dengan guru-guru kelas. Disampaikanlah
bahwa hasil pembicaraan pihak sekolah
dengan panitia UN rayon setempat memberikan
jawaban bahwa akomodasi akan
dipertimbangan untuk diberikan dengan persyaratan
yaitu surat permohonan dari pihak
sekolah yang dilampirkan surat keterangan dari ahli yang menjelaskan kondisi/diagnosa
kekhususan anak, perkembangan anak saat ini (6 bulan menjelang UN) dan kebutuhan
akomodasi yang diperlukan untuk UN. Lutut saya langsung lemas, muka saya
cengengesan ‘gumun’ hati saya berteriak-teriak “ ya Allah, ya Allah, Ya Allah!”
dihadapan Bu Hera & Pak Iden. Mereka tersenyum penuh arti dan berkata “bisa
kan bu?’
Saya jadi
teringat pesan seorang pendidik, teman lama, yang setengah menangis mengatakan “dzallim
lah kita sebagai orang dewasa yang tidak bisa memenuhi hak anak-anak kita, termasuk hak belajarnya, termasuk kebutuhan
belajar anak-anak dengan kebutuhan khusus”.
Jleb....
Pun hak
ujiannya, ternyata adalah kebutuhan yang harus diperjuangkan. Lalu saya jawab “Bisa
bu, pak!. Saya akan dapatkan surat yang dibutuhkan”.
Waktu itu
akhir bulan Maret, Sayapun bergegas mencari waktu bertemu dengan
dr.Kristiantini Dewi,Sp.A, partner medis kami yang selama ini membantu dan
mendampingi kami sekeluarga melalui hari hari bagai roller coaster menjalani
hidup bersama anak dengan disleksia. Kami berdiskusi panjang lebar tentang
persiapan UN ini. Kami menghargai dan berharap besar apa yang sudah dilakukan
pihak sekolah akan membuahkan hasil dan betul-betul memenuhi hak-hak dawwi
& temannya. Dengan harapan apabila ini terwujud akan menjadi sebuah breakthrough bagi anak-anak disleksia
lainnya di kota Bandung dan di Indonesia bahwa anak dengan disleksia bisa
mendapatkan akomodasi Ujian nasional . Hingga saat itu Ujian Nasional di
Indonesia merupakan High-stakes Standardized Test, saya pribadi amat tidak
menyukai ini, hingga saat tahun lalu UN masih menjadi exit exam atau penentu
kelulusan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Sungguh tidak adil dan
tidak masuk akal. Kebayang kan, anak dengan disleksia dan diskalulia dengan
kesulitan belajar diarea berbahasa lisan dan tulisan dan berhitung, berpotensi
lebih besar gagal daripada anak biasa yang juga sama merasakan susahnya materi
Ujian berstandar. Mereka belajar enam tahun gila-gilaan lalu masa depan
kelanjutan sekolahnya ditentukan hanya dengan 3 hari UN?. Padahal anak dengan
disleksia adalah anak yang cerdas, secara kognitif saja mereka memiliki
kecerdasan normal hingga diatas rata-rata. Itu sebabnya penting bagi anak
disleksia mendapatkan akomodasi saat menghadapi ujian, apalagi ujian berstandar
sama (untuk berbagai kemampuan anak) dan beresiko sangat tinggi. They do not
deserve to fail, most after six years of learning!
Bagaimana surat Rekomendasi itu dikeluarkan?.
Dr. Tian melakukan assessment kembali untuk mengetahui perkembangan Dawwi terkini,
sehingga bisa diketahui akomodasi apa
saja yang diperlukan saat UN nanti. Setelah memberikan surat tersebut ke
sekolah yang bisa kami lakukan hanya menunggu and berharap kabar yang baik.
Bulan April,
saya menanyakan kemajuannya, belum ada jawaban dari panitia rayon.
Bulan Mei,
tinggal hitungan hari menjelang UN, saya menanyakan lagi dan jawabannya “ dapat
akomodasi bun!” .. yeayyy rasanya jantung berdegub manis. Saya seperti tertimpa buah-buahan
yang jatuh ‘muruluk’ dari pohon .. “apa aja akomodasinya, pak?” lanjut saya. “sejauh
ini infonya hanya ruangan dipisahkan”
Rasanya,
saya ingin memungut buah-buahan yang tadi jatuh dan saya pasangkan satu-satu
lagi ke masing-masing rantingnya dan menyimpan satu saja buahnya.
Hanya ruangan
terpisah, apa gunanya?, cuman ini hasilnya?. Kami lalu ‘duduk’ lagi dan ngobrol
panjang lagi. Beberapa tahun ke belakang, anak yang pernah mendapatkan
akomodasi UN pun ternyata hanya mendapatkan ruangan terpisah. Rasanya (lagi) saya
ingin menghadap siapa gitu yang ‘pintar’ dan berkuasa atas pendidikan dan
pendidikan inklusi di kota ini dan bertanya “do you know how it feel for being
dyslexic dan harus UN?!?!”. Cuman dalam keinginan saja sambil menggumam, kan
tahu begini, ga usah ikut UN lagipula dia sudah diterima di Sekolah barunya.
18-20 Mei
2015, Tiga hari untuk enam tahun belajar. Dawwi sempat bergumam “ga adil,
belajarnya enam tahun, ujian cuman 3 hari dan 3 mata pelajaran”. 3 hari yang
harus dihadapi dengan persiapan yang melelahkan jiwa raga. 6 minggu sebelum
ujian, dia menangis mengatakan dia banyak ga bisanya saat try out. Hasil try
out di sekolah pun memberikan gambaran nilai yang membuat kami menarik nafas
panjang dan menjejakkan kembali kaki sekuat mungkin ke bumi, harus realistis.
Dawwi bilang ingin mengikuti bimbingan belajar, saya kebingungan, bimbel mana
yang punya program 6 minggu?. Saya datangi beberapa tempat bimbel dan semua
menolak, hingga akhirnya saya bisa ngobrol dan meminta ‘seseorang’ di sebuah
lembaga bimbel untuk mau memberikan bimbingan secara privat dan intensif dalam
6 minggu ke depan, saya ceritakan siapa Dawwi, bagaimana keadaannya dan dimana
dia bersekolah saat ini. Allah Maha baik, ternyata seseorang ini pernah
menyekolahkan anaknya di sekolah yang sama dengan Dawwi dan amat memahami
anak-anak seperti Dawwi. Tak perlu menunggu lama, keluarlah jadwal bimbel privat
4,5 minggu untuk Dawwi, setiap sore!. Saya
suka menangis menemani dia belajar, memeluk dan menciuminya saat tidur,
memahami dan merasakan kelelahannya. Jam 8 – 14.30 di sekolah, bimbel jam 17.00 – 18.30,
sampai rumah dia meminta kembali belajar, tentir. Terkantuk-kantuk hingga
tertidur saat belajar. Subhanallah.
Pernah di
suatu malam beberapa hari menjelang UN, saya mendapati dia beberapa kali ‘mojok’
sebelum tidur. Ternyata dia melarikan diri ke dalam Al-Quran, padahal dia belum
bisa membacanya, dia tertatih-tatih menjelahi surat-surat apapun yang dia bisa
baca sebisanya. Dawwi meneduhkan keresahan hati dan kelelahan jiwanya. Menemukannya
memanjangkan sujudnya, diam-diam saya dengar dia merintih memohon pertolongan
Allah. Saya ikutan mojok disudut lain,
menangis tersedu-sedu, sesegukan tanpa suara. Sebersit sesal muncul, kenapa juga harus ikut
UN, kok ya gini-gini amat tekanannya. Kembali saya peluk dia erat saat tidur,
saya bisikan doa-doa dan semangat bahwa UN yang akan dia tempuh bukan tentang
hasil NEM nya nanti, bahwa lima bulan
terakhir tersebut adalah kawah Candradimuka yang mendidihkan kerja kerasnya
bahwa segala sesuatu itu harus dicapai dengan kerja keras, pantang menyerah dan
untuk ‘kita’ semua itu dilakukan tujuh
kali lebih keras daripada anak-anak biasa lakukan karena kita adalah
anak-anak yang istimewa. Bahwa lima
bulan terakhir tersebut adalah Ramadhan extra tahun ini dimana semua kesabaran,
ketabahan, keimanan ketakwaan diolah, ditempa, digilas dan dibentuk semaksimal dan
lebih istimewa. Sebab ujian-ujian sesungguhnya tidak hanya tentang UN saat ini,
akan ada 2 UN lagi, ujian-ujian lain baik di sekolah maupun dilingkungan sosial.
Ternyata saya tidak hanya sedang membisikan itu ke telinga Dawwi, saya bisikan
kedalam jiwa saya, kedalam kesadaran saya. Kamilah peyangganya yang harus dia
percaya dan kepada Nyalah semua itu harus dikembalikan, sebuah pembelajaran
besar tentang “Surrender to The Almighty Allah”, mojok …
Hari pertama
UN, saya sedang tidak shalat dan teman-teman orang tua melenggang memasuki
masjid didekat lokasi UN untuk shalat pagi. Saya meringis, iri hati luar biasa.
Didalam sana teman-teman saya menyerahkan setumpuk doa dan harapan kepada Yang Maha Agung setelah
dhuha dan saya cuman halamannya ‘mampu’ berdzikir dan berdzikir. Jam 10.00
anak-anak keluar saya berdegup menyambut Dawwi keluar, kami semua saling
memeluk anak-anak dan menebar senyum lebar, click
away muka-muka cemas kami.
Dalam perjalanan
kami bertanya bagaimana ujian Bahasa Indonesia hari ini, jawabannya “good,
soalnya mudah”. Alhamdulillah … (meski sambil bertanya-tanya juga, seperti
apa itu yang mudah). Sepanjang jalan pulang, meluncurlah ceritanya bahwa di
tempat ujian mereka mendapatkan ruang terpisah, Dawwi dan temannya mendapat
pengawas masing-masing. Para pengawas memperhatikan saat mereka menuliskan data
diri di lembar jawaban, bahkan teman Dawwi mendapat bimbingan langsung
penulisan data dirinya. Pengawas juga menanyakan apakah mereka memahami
soalnya, beberapa soal dibacakan ulang sampai mereka mengerti, teman dawwi
lebih banyak dibacakan soalnya oleh pengawas, kalau lelah mereka boleh ke kamar
mandi, pengawas tidak galak sehingga tidak membuat suasana menjadi tegang, mereka
diingatkan tentang waktu meskipun tidak mendapat waktu tambahan, mereka
diingatkan apakah sudah menjawab semua soal dan menuliskan jawaban ‘ditempatnya’
(bukan jawaban yang benar). Saya terkesima, wow! Terbayang buah-buah yang jatuh
muruluk tadi, biarlah tetap jatuh muruluk, saya rela pungutin satu-persatu.
Masya Allah, saya bahagia sekali. Dawwi dan temannya dirahmati Allah, disayangi
Allah, dilindungi Allah, hak mereka terpenuhi. Dia Maha Penyanyang, Maha Adil
dan Maha baik
Pada hari
kedua, Ujian Matematika. Dawwi bercerita soalnya lebih mudah dari yang dia
pelajari di rumah, hari ini dia tidak banyak memanfaatkan tawaran akomodasi yang
diberikan, hanya satu dua soal cerita saja yang dia tanyakan ‘apa sih ini
artinya’. Mereka mendapatkan beberapa lembar kertas kosong untuk ‘mengotret’ ,
diingatkan tentang waktu dan penulisan jawaban ditempat yang benar. Teman Dawwi
masih mendapatkan bimbingan penulisan data diri dan didampingi penuh oleh
pengawasnya. Waktu ujianpun tidak termanfaatkan semuanya dan boleh ke kamar
mandi beberapa kali.
Hari Ketiga
Ujian IPA, Dawwi keluar dari mesjid dan berkata “selesai sudah tiga hari untuk
enam tahun ini. Still not fair!” saya tertawa , ya sayapun merasakan demikian pada
kenyataannya hingga 2014 UN tidak dimanfaatkan sebagai alat pemetaan kualitas
pendidikan yang pernah dicanangkan, tingkat kecurangan yang sangat tinggi,
mafia nilai dan rusaknya moral anak dan tenaga guru terkait jadi isu serius
yang disorot publik. Saya bilang ke Dawwi “ tenang bang, abis ini masih ada
ujian agama, outbond dan lain-lain di sekolah kok, masih Fair, pelajaran lain
juga ujian” dan dia mendelik kesal sambil terkekeh. Cerita UN hari ini tidak
sedasyat hari pertama, namun saya bahagia ketika dawwi bilang IPA lebih bisa
dipahami, dan akomodasi yang mereka dapatkan sama seperti dua hari sebelumnya.
Hari itu
saya merevisi semua kekecewaan saya, saya bersyukur dia bisa ikut UN, walaupun
dia sudah diterima di sekolah barunya yang tidak butuh nilai NEM. Saya bersyukur
dia menempuh segudang waktu-waktu sulit yang menempa dirinya dalam 5 bulan
terakhir.
Saya
melihat, sebegitu besar cinta dan perhatian tulus bapak-ibu gurunya. Bu Hera
baru saja melahirkan saat itu, hari pertama beliau paksakan datang membawa
bayinya yang baru lahir untuk mendukung dan memberi semangat murid-muridnya. Saya
masih mengingat wajah anak-anak perempuan yang penuh haru dan menyambut
kedatangan bu hera di halaman tempat mereka berkumpul. Hari-hari sebelum UN
beliau dedikasikan untuk murid-muridnya belajar keras mempersiapkan UN dengan
perut dan beban yang semakin besar. Saya ingatkan Dawwi dan anak-anak lain,
jangan sampai berdosa kepada guru kalian, pengorbanannya penuh cinta tulus & sangat besar sekali. Pak Iden
‘terpaksa’ jadi guru tunggal yang sibuk menemani anak-anak selama UN,
ketegangan terlihat dibalik wajah yang selalu tersenyum. Kepala sekolah selalu
hadir setiap hari memberikan semangat kepada siswa siswi kelas 6 angkatan tahun
ini.
“One looks back with appreciation to the brilliant teachers, but
with gratitude to those who touched our human feelings. The curriculum is so
much necessary raw material, but warmth is the vital element for the growing
plant and for the soul of the child.” – Carl Jung
Sebulan berikutnya,
kami bertiga, saya, ayah dan dawwi mendapatkan hasil dari perjalanan panjang 6
bulan terakhir. Mengapa kami, padahal hanya Dawwi yang UN?. Saat ayah
menghadiri pembagian hasil ujian, kami memang sepakat bahwa UN bukan tentang
berapa nilai yang akan didapat. Sebab begitu UN selesai kami menilai semua
proses yang dilalui selama lima bulan tersebut adalah pelajaran luar biasa
bagus dan intens, hasil UN yang ayah terima adalah 'hanya untuk pembuktian" kepada Dawwi “siapa
yang bekerja keras, Allah tidak akan diam, dia akan mendapatkan hasil yang luar
biasa bagusnya”, berapa hasil nilai Ujian Dawwi dan temannya yang juga
disleksia?
Hasilnya berbanding
lurus dengan kerja keras mereka dan hak akomodasi Ujian yang mereka dapatkan. Betul-betul
sepadan!
Hasilnya berbanding
lurus dengan kekeraskepalaan guru-guru kelas dan orangtua untuk memperjuangkan hak
akomodasi Ujian yang mereka harus dapatkan. Betul-betul sepadan!
Hasilnya berbanding
lurus dengan kerja keras panitia UN sekolah meminta kepada panitia Rayon atas hak
akomodasi Ujian murid-murid mereka. Betul-betul sepadan!
Allah tidak
akan tinggal diam atas usaha umatnya , Allah Maha Penyayang dan Maha Adil.
Ayah
tercengang sesaat begitu membuka lembar NEM ditangannya dan hanya bisa
berkomentar “andai ga ada siapa-siapa di sekolah ini saya ingin gugulitikan dari atas bukit sampai ke
bawah” sementara Raut muka Pak iden (bu hera masih cuti melahirkan) penuh rasa
gembira puas, lega dan bahagia.
Bagi Dawwi
tidak penting berapa nilai NEM yang dia raih, butuh waktu berhari-hari untuk
dia menyadari bahwa hasil yang dia dapatkan itu ‘remarkable’. Ketika emosi sudah menyurut baru dia ‘ngeuh’ dan
bergembira dengan dirinya sendiri bangga mempunyai nilai UN yang bagus. *tepok
jidat*
Dengan
selembar surat nilai UN itu, kami ingatkan kembali bahwa semua kerja keras akan berhasil dengan
baik.
Kami refleksikan
kembali andaikata dia tidak belajar dengan luar biasa dasyatnya kira-kira apa
hasil yang akan dia dapat?
Kami refleksikan
kembali andaikata dia berserah diri dan banyak berdoa dan memohon kepada Allah,
bagaimana kira-kira hasil yang akan dia dapat?
Dia
menyadari, Allahlah satu-satunya tempat menggantungkan harapan, doa dan menyerahkan
segala urusan kehidupan, betapa pentingnya bisa baca Al-Quran (bonus
besar sebuah motivasi untuk belajar) dan betul-betul terbukti bahwa semua kerja
keras yang ‘bikin mati’ (karena semua perjuangannya sudah melewati level ‘setengah
mati”) akan memberikan hasil yang sangat baik dan Allah tidak pernah tinggal
diam.
Sementara
bagi kami ayah dan bunda, Ibu Hera, Pak Iden, pihak sekolah dan dr.tian
selembar surat nilai UN Dawwi dan temannya menjadi bukti bagi pendidikan untuk anak disleksia dan seluruh sistem pendukungnya, bahwa akomodasi yang tepat adalah
betul-betul hak mereka yang harus diperjuangkan & akomodasi yang tepat akan
memberikan hasil yang baik sesuai dengan kemampuan mereka yang luar biasa
Comments
Saya melewati hari...hari belajar dgn tangis...rasanya ingin bisa..bantu Daffa.. tp selalu...kemampuan saya terbatas...
Tahun dpn 2017..saya bersiap...siap... untuk maju...ke sekolah Daffa..hadapi UN menjalankan kewajiban saya...untuk membantu Daffa....
Haturnuhun bu Sasa....